Friday, September 14, 2018

Nuansa Peranakan di Terminal 4 Changi Airport

Taman di Terminal 4 Changi Airport
Semua orang suka saat transit di bandara negara Singa. Betapa tidak, fasilitas yang diberikan membuat orang betah. Belum lagi bagi yang doyan belanja, harga barang-barang pun katanya lebih murah daripada di Indonesia(katanya loh ya, melihat orang bisa berbelanja bertas-tas di Changi Airport). Kami pun terkadang sengaja datang awalan agar dapat menikmati bandara Changi. Mulai dari main di playground, melihat taman kupu-kupu, duduk di kursi pijat, hingga berfoto di spot-spot menarik, semua sudah kami lakukan.
Tempat belanja di dalam Changi Airport
Beberapa bulan yang lalu, Changi Airport membuka terminal 4. Berbeda dengan terminal 1 hingga 3 yang berkesinambungan, terminal 4 terletak terpisah. Walaupun demikian, terminal 4 ini dirancang begitu futuristik. Di sini mereka meminimalkan jumlah staf yang bekerja dan lebih banyak self service. Mereka menyediakan automated immigration, lalu self check-in, termasuk memasukkan bagasi sendiri. Bagi pengunjung yang kebingungan pun mereka menyediakan beberapa staf yang siap sedia untuk membantu.
Automated Immigration yang disediakan. 
Waktu melakukan short vacation ke Singapore kemarin, pesawat Airasia yang kami tumpangi landing dan take off dari terminal 4. Betapa semangatnya kami untuk melihat terminal baru ini, karena biasanya terminal di Changi Airport selalu keren.
Bisa untuk duduk, bisa juga untuk foto ;)
Dimulai dari taman yang kami lalui. Melihat tampilan yang ada, melihat sebagian dari tanaman tersebut seperti melihat tanaman di Cloud Forest di Gardensby The Bay. Dan taman ini menarik minat setiap orang yang lewat. Terbukti antrian yang mau foto di taman ini =)
Akhirnya bisa foto setelah antri =D
Tanamannya seperti di Cloud Forest.
Walaupun terminal ini tidak besar sekali, namun yang menarik di sini adalah lokasi restoran yang dirancang seperti rumah-rumah peranakan. Yang lebih menarik lagi, diatas restoran-restoran ini terdapat screen besar. Setiap beberapa menit, akan ada perubahan di screentersebut. Perubahan tersebut merupakan bagian kisah Peranakan Love Story.
Restauran dan toko makanan yang bernuansa peranakan.
Bagian atas restaurant yang terlihat seperti betulan, padahal hanya screen.
Peranakan Love Story merupakan kisah dua sejoli (ehm ehm) di Singapore di tahun 1930an. Di cerita ini dikisahkan dua anak muda yang jatuh cinta. Yang menariknya, semua unsur peranakan pun masuk di cerita ini. Dari mulai baju, kebiasaan, hingga pernikahan.
Seperti nyata bukan?
Potongan scene yang ada dalam kisah Peranakan Love Story. 
Karena waktu yang mepet, dan kami belum makan malam, maka kami pun naik ke lantai dua untuk melihat museum peranakan dan mencari makan malam. Di museum ini terdapat banyak furnitur jadul yang juga ada di rumah-rumah lawas di Indonesia.
Ranjang pengantin zaman dulu, serasa melihat film silat =D
Meja rias jadul.
Kursi dengan foto-foto keluarga diatasnya.
Bagian dalam miniatur rumah peranakan.
Rumah peranakan menjadi salah satu simbol akulturasi budaya Chinese dan non-Chinese. Lantai yang berwarna-warni diimport dari Jepang dan Eropa. Furnitur blackwood dan penempatannya dipengaruhi oleh kebudayaan China. Dan porselainnya, porselain nyonya, terpengaruh dengan kebudayaan dinasti Qing.
Piring dan Keramik peranakan dengan ciri khas warna-warni.
Keramik lainnya yang colorful.
Puzzle tegel yang dapat dimainkan anak-anak.
Bagaimana dengan bajunya? Tidak ada baju khusus yang dapat mendefinisikan identitas peranakan. Baju peranakan berkembang dengan mengikuti perkembangan waktu. Baju nyonya yang sering disebut kebaya encim awalnya mengadopsi kebudayaan Melayu. Namun di awal abad 20, mereka mulai menggunakan bross seperti kebudayaan Eropa.
Kebaya encim yang mirip seperti di Indonesia.
Modernisasi kebaya encim yang menjadi seragam Singapore Airline
Setelah selesai mengitari dan melihat isi di dalam museum ini, kami pun mencari makanan di foodcourt lantai 2 ini. Foodcourtdi terminal empat ini mirip seperti foodcourtdi terminal lainnya. Menu western dan eastern pun ada. Untuk memesannya pun dilakukan sendiri di touch screensetiap kedai.

Kunjungan kami di terminal 4 memang tidak lama. Namun secara keseluruhan, terminal 4 ini tidak kalah dengan terminal lainnya di Changi Airport. Hanya saja kurangnya tidak ada playground untuk anak-anak dan kursi pijat favorit kami. Hehehe. Dan sayangnya kami belum menonton Peranakan Love Story secara keseluruhan. Mungkin di kesempatan berikutnya kami punya waktu untuk menonton kisah tersebut secara lengkap.
Bagian yang mungkin bisa menjadi pengganti playground untuk anak-anak kecil.

Tuesday, August 7, 2018

Suasana Peranakan di Kopitiam Oey


Masih di area yang sama dengan gedung bersejarah, Chandra Naya, di sekitar rumah cagar budaya tersebut terdapat banyak tempat makan dengan nuansa tempo doeloe. Salah satunya adalah Kopitiam Oey. Kopitiam ini didirikan oleh ahli kuliner yang terkenal dengan slogan maknyus, yaitu almarhum Bondan Winarno. Dalam dialek Hokkian, kedai kopi disebut ke fe tien, yang oleh orang Melayu disebut kopitiam.
Deretan tempat makan dengan nuansa jadoel.
Jendela bagian interior Kopitiam Oey
Saat kami mengunjungi kedai ini, kami sudah melewati jam makan siang. Yang berkesan bagi kami adalah suasana jadul yang ada di dalam dan di luar kopitiam ini. Dapur mereka persis seperti dapur rumah oma saya. Mangkok tua, gelas kecil warna merah, dan nuansa hitam-merah. Kata si papa, serasa masuk rumah tahun 60an.
Interior View, meja lawas dari marmer dan lampu di dalam sangkar burung.
Dapur dan selendang merah.  
Pelayan yang ada pun memberikan kami menu untuk memilih makanan.Seperti interior yang bertema peranakan dan rada jadul, menu makanannya pun masih ditulis dengan menggunakan ejaan yang lama. Menurut pelayan, menu yang cukup terkenal di Kopitiam Oey adalah laksa dan bakmi kepitingnya. Maka kami pun memesan kedua makanan tersebut dan menu lainnya.
Menoe gaya djadoel
Pilihan makanan yang bervariasi 
Sesaat setelah kami datang, mulailah datang tamu-tamu lain. Rupanya banyak juga yang menggemari kopitiam Oey ini. Kami tidak perlu menunggu lama untuk menikmati makanan kami. Cukup cepat juga pelayanannya. Dan makanan kami pun tiba.
Penampakan nasi capcay ala Kopitiam Oey.
Nasi goreng permintaan anak-anak 
Es Kidna. Segar dan enak
Bagaimana rasa makanannya? Buat kami, rasanya lumayan enak, kecuali rasa bakmi kepitingnya agak tawar. Tetapi dengan adanya sambal dan acar cabe, bakminya pun jadi lebih enak. Yang paling kami suka adalah es kidna. Rasanya mantab dan menyegarkan.
Laksa 
Bakmi Kepiting 
Untuk yang memang sedang berkunjung ke daerah Gajah Mada, bersantap di Kopitiam Oey dapat menjadi pilihan yang tepat. Selain menikmati makanan dengan harga yang bersahabat, suasana jadul di situ memang ngangeni :)
Shanghai Noni :)
Sekilas Informasi
Kopitiam Oey
Website: www.kopioey.com
Alamat: Jl. Gadjah Mada no 188 Jakarta Barat
Telepon: 021-29379890
Jam operasional : 09.00 - 00.00

Monday, July 30, 2018

Saat Masa Lalu Bertemu dengan Masa Kini di Chandra Naya Jakarta


Jika kita melalui daerah Gadjah Mada, pastilah kita sering melihat suatu rumah tua yang dikelilingi oleh gedung bertingkat dan hotel Novotel. Selama ini kami selalu bingung dan berpikir bahwa itu hanya rumah biasa. Penasaran juga untuk mampir, namun karena tidak pernah ada kepentingan di daerah itu, maka kami tidak pernah mampir ke situ.
Pintu masuk 
Di Zi Gui
Nah, bulan Maret yang lalu, sahabat kami menginap di hotel Novotel. Karena anak-anak ingin bermain bersama, maka kami, mama-mama, mulai memikirkan mau melakukan aktivitas tapi tidak usah jauh-jauh. Akhirnya kami pun mulai searching dan menemukan nama Chandra Naya. Karena melihat review yang bagus dari tempat ini, maka kami pun berpikir untuk mengunjungi tempat ini.
36 Strategies
Lukisan dinding dan hiasan lainnya.
Untuk memasuki rumah ini tidaklah dikenakan biaya. Namun kita tidak boleh memotret dengan kamera dengan resolusi tinggi. Bahkan walau dengan handphone pun, kami diminta untuk menghubungi pengelola dan beliau memastikan bahwa gambar-gambar ini tidak untuk dikomersilkan. 
Bagian depan ruang tengah rumah. 
Chandra Naya, atau Sing Ming Hui, merupakan bangunan seluas 2.250 meter persegi ini memiliki arsitektur yang khas. Berdasarkan catatan yang ada di samping pintu gerbang utama, rumah ini sudah ada kurang lebih antara tahun 1806 atau 1867. Rumah ini disebut sebagai Rumah Mayor karena dulu rumah tersebut adalah kantor dan tempat tinggal Mayor Tionghoa Khouw Kim An yang lahir di Batavia 5 Juni 1879. Menurut sejarah, Khouw Kim An merupakan mayor Tionghoa sesudah Mayor Tio Tek Ho (yang kediamannya di bangunan Toko Kompak di Pasar Baru) dan merupakan mayor Tionghoa terakhir. Jabatan Mayor diemban Khouw Kim An pada tahun 1910-1942. Mayor adalah sebuah jabatan yang diberikan oleh pemerintahan Hindia Belanda untuk bertanggung jawab atas urusan yang ada di etnisnya. Jabatan itu menunjukkan bahwa tuan rumah tersebut berstatus sosial tinggi.
Khouw Kim An 
Mengapa hanya sampai tahun 1942? Karena pada tahun 1942 Jepang masuk ke Indonesia dan Mayor Khouw Kim An ditangkap oleh Jepang dan ditahan di kamp konsentrasi hingga akhirnya meninggal di sana pada 13 Februari 1945. Makamnya dapat ditemui di komplek makam Petamburan. Di sana dikuburkan keluarga Khouw, termasuk O.G. Khouw, sepupu Khouw Kim An yang terkenal sebagai pengusaha dan filantropis ternama. Makam O.G. Khouw disebut sebagai makam dengan mausoleum (pelindung makam) paling megah di Asia Tenggara.
Jangan Marah :) 
Saat masa penjajahan Jepang, Candra Naya sempat menjadi kantor Sing Ming Hui, perkumpulan orang Tionghoa dengan tujuan sosial. Perkumpulan inilah yang akhirnya mencetuskan Yayasan Tarumanagara yang akhirnya membuat Universitas Tarumanegara. Setelah Indonesiamerdeka, akhirnya Sing Ming Hui berubah nama menjadi Candra Naya, seperti yang kita ketahui sekarang. Candra Naya juga pernah menjadi lokasi kuliah mahasiswa Universitas Tarumanagara, dan menjadi tempat penyelenggaraan Indonesia Open atau pertandingan bulu tangkis tingkat internasional pertama di Indonesia.
Hiasan di dalam rumah. 
Bangunan ini luas dan besar sekali dan sempat tidak terawat. Saat dibeli oleh developer, sepertiga dari bangunan tetap dipertahankan dan menjadi cagar budara karena rumah ini menjadi saksi bisu dari sejarah Tiong Hoa di tanah air. Di area ini juga ada banyak bangunan tambahan, salah satunya Kedai Kopi Oey, dan juga bangunan-bangunan lainnya.
Kolam dengan bangunan megah di belakangnya 
Kunjungan kami di tempat ini tidak begitu lama, karena di bangunan ini sedang ada renovasi. Namun kami menikmati melihat bangunan cagar budaya dan nilai-nilai filosofi yang ada di sini. Dan serunya, kami seperti diajak masuk ke dua masa, yaitu masa peranakan dan masa sekarang dengan bangunan yang modern.
Tanaman hias dengan kolam.
Sekilas Informasi
Gedung Chandra Naya
Alamat: Jl. Gadjah Mada no 188, Glodok. Jakarta Barat 11120
Jam Operasional: 08.00 - 15.00